Daftar Blog Saya

Rabu, 15 Agustus 2012

Pendelegasian Undang-Undang ke Peraturan dibawahnya: Penerapan di Negara Lain

“Pajak bisa digunakan untuk melakukan pemerasan (black mail), tekanan politik ataupun alat di luar (kepentingan) perpajakan,” ujar Faisal Basri, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia. (http://abuzidan.blogspot.com/2005/12/reformasi-pajak-buruk-rupa-cermin.html)


Hal ini yang mendasari Pasal 23A UUD 1945 untuk mengatur “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Terhadap Pasal 23A UUD 1945 tersebut, Prof. Moenaf Hamid Regar, seorang dosen di Universitas Sumatera Utara, mengajukan permohonan judicial review pengujian Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Pemohon mendalilkan 15 (lima belas) norma materiil dalam UU 36/2008 yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 4 ayat (2), 7 ayat (3), 14 ayat (1), 14 ayat (7), 17 ayat (2), 17 ayat (2a), 17 ayat (2c), 17 ayat (2d), 17 ayat (3), 17 ayat (7), 19 ayat (2), 21 ayat (5), 22 ayat (1c), 22 ayat (2), 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, terhadap Pasal 23A, 28D ayat (1), 28G ayat (1), 28H (4) Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam permohonannya tersebut, Pemohon menjelaskan bahwa terjadi ketidakadilan dalam penerapan tarif pajak yang ditentukan oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah lebih besar menurutnya dibandingkan dengan yang diatur dalam UU PPh tahun 2008. Seperti halnya Pasal 4 ayat (2) “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya …. yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Dalam Peraturan Pemerintah No. 131 tahun 2000 Pasal 2 “Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut: a. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto…” Oleh sebab itu, penerapan pajak yang dikenakan untuk bunga deposito senilai Rp. 50.000.000 dengan Rp. 1.000.000.000 adalah sama yaitu 20%. Hal ini merugikan Wajib Pajak yang berpenghasilan kecil, karena tarif pajak tersebut tidak sesuai atau lebih besar dari yang disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1) butir a UU PPh tahun 2008. Akan tetapi menjadi tidak adil, bila bunga deposito tersebut diatas Rp. 250.000.000 maka tariff pajak dalam PP No. 131 tahun 2000 menjadi lebih kecil diterapkan dibandingkan tarif pajak dalam UU PPh tahun 2008. Penerapan Peraturan Pemerintah tersebut tidak berdasarkan PTKP dan juga tidak berdasarkan rate penerapan yang progresif Pasal 17 UU PPh tahun 2008 sehingga tidak mencapai keadilan. Selain itu pajak atas bunga deposito merupakan pajak final berarti tidak bisa dikreditkan ke dalam pajak Pasal 25 dan 29 UU PPh tahun 2008.

Pemohon juga menjelaskan bahwa dirinya sebagai seorang dosen yang mengajar perpajakan merasa membohongi mahasiswanya dengan perbedaan penerapan dalam Pasal 23A UUD 1945 dengan Pasal a quo. Dalam a quo terdapat pendelegasian menentukan subjek, objek, dan tarif pajak kepada peraturan dibawah Undang-Undang yang tidak lain adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Pada prinsipnya, Pemohon mempermasalahkan wewenang pemerintah yang terlalu besar, padahal wewenang-wewenang yang dimaksud, menurut Pemohon semestinya menjadi wewenang DPR melalui UU. (http://www.lexregis.com/?menu=news&idn=418)


Pada sidang pertama tanggal 19 Oktober 2009 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Terhadap permohonan itu, Majelis Hakim Konstitusi menasehati Pemohon untuk memperhatikan pula adanya sistem pendelegasian wewenang dalam struktur hukum ketatanegaraan di Indonesia. "Tolong dipertimbangkan keberadaan sistem ini agar sesuai dengan posita dan petitum permohonan saudara," ujar Arsyad Sanusi menasehati Pemohon.
Majelis juga meminta Pemohon mempertimbangkan Pasal 20 UUD 1945 yang menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. "Jadi kalau DPR dan pemerintah setuju (dengan pendelegasian itu), (artinya) undang-undang sudah sah," tutur Achmad Sodiki. (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3424)

Tidak dapat dipungkiri pula bahwa UU pajak pasti tidak bisa mengatur seluruh aspek pemajakan atau dengan kata lain ada yang harus didelegasikan kepada pemerintah. (http://www.dannydarussalam.com/engine/artikel/print.php?lang=id&artid=292&print=1) Hal ini sejalan juga dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya”. Sehingga membenarkan pendelegasian undang-undang kepada peraturan dibawahnya asalkan telah diamanatkan oleh undang-undang, dibuat secara spesifik, bersifat sederhana, memberikan kepastian hukum, serta transparansi.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ikut serta melaksanakan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 tersebut, pasal-pasal yang terkait antara lain:

1) Pasal 1 ayat (2), Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

2) Pasal 1 ayat (3), Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

3) Pasal 1 ayat (5), Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

4) Pasal 3 ayat (1), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

5) Pasal 7 ayat (1), Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ii. Undang-Undang/Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang; iii. Peraturan Pemerintah; iv. Peraturan Presiden; v. Peraturan Daerah

6) Pasal 7 ayat (4), Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.

7) Penjelasan Pasal 7 ayat (4), Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

8) Pasal 7 ayat (5), Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 9) Penjelasan Pasal 7 ayat (5), Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan vang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disampaikan bahwa pendelegasian Undang-Undang terhadap peraturan perundang-undangan di bawahnya dalam pemungutan pajak dapat dilakukan dan mempunyai kekuatan hukum, dengan syarat sebagai berikut:

1) Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum;
2) Pendelegasian Undang-Undang tersebut dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden;
3) Peraturan perundang-undangan diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi;
4) Peraturan perundang-undangan didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pendelegasian pelaksanaan peraturan perpajakan justru berkembang di negara-negara modern. Terdapat 2 prinsip pendelegasian undang-undang dalam penerapan pajak yang berkembang di negara lain:


  1. Tingkat Ekstrim: terdapat dua prinsip yang pertama menyatakan bahwa pendelegasian pembuatan peraturan perpajakan tidak dapat dilakukan sama sekali; prinsip yang lain menyebutkan bahwa pendelegasian pembuatan peraturan perpajakan dapat dilakukan asalkan terdapat dasar hukum pendelegasian tersebut berdasarkan konstitusi;

  2. Tingkat Intermediate: memberikan pembatasan pendelegasian, terhadap unsur-unsur penting harus diatur dalam undang-undang seperti definisi wajib pajak, objek pajak, tarif pajak, dan aturan mengenai administrasi pajak.

Constitutions differ in the extent to which they allow the legislature to delegate tax law making authority. At one extreme, the principle of legality can mean that no delegation is permissible; at the other extreme, it can require only that taxes have a legal basis under the constitution, and if the constitution permits delegation of legislative power generally, then delegation is also permitted in matters of taxation. An intermediate position places limits on delegation, holding that for a tax to have a firm basis in law, its essential elements must be provided in an enabling law. Such elements would include, among others, definitions of taxpayer, taxable event or object of taxation, and tax base; tax rates; and basic rules for administration. This does not mean that all the details must be included in the law. As discussed below,7 implementing regulations can be issued by the executive branch of government in accordance with the framework of administrative law. In some cases, the law may take the form of a decree by the executive branch, if permitted under the constitution.” (Frans Vanistendael, Legal Framework for Taxation, Volume 1; International Monetary Fund: 1996; Victor Thuronyi, ed., page 3)

Selain itu, menteri atau kabinet terkait dapat diberikan kewenangan langsung berdasarkan konstitusi untuk membuat peraturan yang didelegasikan oleh undang-undang, atau undang-undang tentang pajak dapat mendelagasikan kewenangan untuk pengaturan terhadap peraturan dibawahnya sepanjang pertauran tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, pendelegasian tersebut diatur dalam undang-undang, dalam hal ini telah disetujui oleh rakyat (melalui legislatif) dan pemerintah.

Administrative acts with the greatest legal force are referred to as regulations. (They may also be referred to as orders, decrees, rules, or ordinances.) The relevant minister or the cabinet of ministers may be authorized directly under the constitution to issue regulations to carry out the laws, or tax laws may delegate authority to issue regulations. As long as a regulation is not contrary to the statute, it has the force of law, which means that it is binding on both the taxpayer and the state. Regulations are typically used to fill in gaps and details that are not dealt with in the statute, although they may also fashion rules out of whole cloth when so authorized.” (Frans Vanistendael, idem, page 43)

Di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental, pemerintah mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan sebagai implementasi dari undang-undang perpajakan dalam hal undang-undang tersebut telah mengatur unsur-unsur elemen dari aturan perpajakan.

In the European continental tradition, the executive branch has the power to establish rules for the implementation or administration of tax laws by way of regulation, provided that the statute approved by parliament contains sufficiently specific rules defining the essential elements of the tax. The legislator may give a full delegation of power to the executive branch to establish tax laws or essential elements of tax laws by decree. Such delegation of power may be specifically provided for in the constitution198 or in the constitutional doctrine.199 In such cases, the law containing the delegation often requires post factum ratification of the decree by an act of parliament.” (Frans Vanistendael, idem, page 43-44)

Sementara itu, di negara Amerika Serikat dan Australia, kewenangan pembuatan peraturan perpajakan terkadang didelegasikan kepada pemerintah (badan pelaksana administrasi pajak), sehingga badan tersebut dapat menentukan aturan pajak secara spesifik terutama dalam hal yang kompleks dan membutuhkan pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal yang belum diatur secara rinci oleh legislatif.

In both the United States and, recently, Australia, tax legislation sometimes delegates legislative rule-making authority to the tax administrative agency, so that the agency in fact makes the specifi c tax rules especially with respect to complex and contentious defi nitional matters upon which the legislators cannot reach detailed agreements. The debt-equity distinction is one such matter.” (Henry Ordower, Restrictive the Legislative Power to Tax: Intersections of Taxation and Constitutional Law, Electronic Journal of Comparative Law, vol. 11.3 (December 2007), http://www.ejcl.org/, page 8)

Dengan demikian, di beberapa negara menganut paham pendelegasian undang-undang terhadap peraturan dibawahnya yang dibuat oleh pemerintah dalam hal pemungutan pajak. Hal tersebut diterapkan dengan beberapa pembatasan diantaranya pendelegasian tersebut diatur dalam undang-undang perpajakan yang didelegasikan sehingga sesuai dengan konstitusi; dan unsur-unsur penting seperti definisi wajib pajak, objek pajak, tarif pajak, dan aturan mengenai administrasi pajak harus diatur dalam undang-undang.

Pada 19 November 2009 lalu, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang yang beragendakan mendengar keterangan pemerintah dan keterangan saksi dan ahli dari pihak pemohon. Dalam kesempatan kali ini, pemerintah menyampaikan keterangan pendahuluan yang singkatnya bahwa permohonan yang diajukan pemohon harus ditolak, karena pasal-pasal a quo telah sesuai dengan UUD 1945. Sebaliknya apabila permohonan Pemohon dikabulkan akan mengakibatkan dampak buruk, diantaranya:
  1. Kekosongan hukum dalam menghimpun dana masyarakat, berimbas pada penerimaan negara. Padahal negara sedang membutuhkan dana besar untuk pembiayaan pembangunan.

  2. Lebih dari 30 peraturan pelaksanaan UU PPh harus dicabut dan diatur kembali hanya untuk memenuhi permohonan Pemohon.

Ahli yang diajukan pemohon merupakan Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntasi Universitas Sumatera Utara (USU). Ahli tersebut lebih banyak mengungkapkan adanya ketidakadilan dalam pendelegasian Pasal 4 ayat (2) UU PPh tahun 2008 kepada PP No. 131 tahun 2000 Pasal 2 tentang penerapan pajak Bunga Deposito.

Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Haryono, menyayangkan keterangan ahli yang disampaikan dari pihak pemohon. Hal ini disebabkan keterangan ahli yang disampaikan tidak mempunyai link yang menjelaskan pengertian pendelegasian kewenangan undang-undang dalam mengenakan pajak. Hakim Konstitusi tersebut juga menanyakan kepada pemohon apakah tidak melihat UU Keuangan Negara Pasal 6 dan 8 yang memberikan delegasi kepada Menteri Keuangan sebagai pengelola kebijakan fiskal sehingga seharusnya juga berwenang untuk mengatur aturan mengenai penghimpunan pajak.

Dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 tahun 2003 disebutkan bahwa "Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah". Dalam Pasal 6 ayat (2) butir a "Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1): a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan....". Oleh sebab itu dalam Pasal 8 butir e disebutkan "Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang".

Pada akhirnya permohonan uji materiil tersebut diputus oleh Majelis Hakim yaitu Ditolak seluruhnya sebagaimana dapat dilihat putusannya pada situs Mahkamah Konstitusi.

Enam Pertanyaan Wajib saat Membeli Rumah Second

Membeli rumah memang susah-susah mudah. Terkadang rumah yang dianggap bagus, ternyata memiliki masalah serius.

Untuk itu, Anda sebagai konsumen perlu teliti sebelum membeli. Ajukan banyak pertanyaan, agar semua keingintahuan Anda terhadap seluk-beluk rumah tersebut terpenuhi.

Dalam buku bertajuk “Menjadi Kaya Melalui Properti”, pengamat properti Panangian Simanungkalit mengatakan, ada sejumlah pertanyaan yang wajib diajukan konsumen saat hendak membeli rumah bekas:

Mengapa rumah tersebut dijual?Ini adalah pertanyaan penting yang dapat memberi Anda informasi untuk:
(1) Menentukan harga penawaran yang sesuai dengan kondisi rumah yang sebenarnya.
(2) Menentukan seberapa besar kebutuhan penjual (mendesak atau tidak) untuk segera melepas rumahnya.

Berapa biaya maintenance (perawatan) rumah?Pertanyaan ini diajukan agar biaya yang harus dikeluarkan secara rutin tergambar. Contohnya, besar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tagihan listrik rata-rata, tagihan PAM, iuran kebersihan dan keamanan lingkungan.

Apa masalah bangunan rumah tersebut?Anda perlu mengetahui semua masalah yang melekat pada bangunan, baik yang pernah atau sedang terjadi. Ini penting agar Anda bisa memperkirakan tindakan dan biaya yang perlu diambil guna mengantisipasinya. Misalnya ada pipa air di bawah tanah yang bocor dan pompa air menyala otomatis, maka tagihan listrik jadi mahal. Di lain kasus mungkin terdapat juga kusen dan partisi yang sudah dimakan rayap, keramik yang pecah, dinding yang lembab, dan lain sebagainya.

Kejadian apa saja yang pernah terjadi di rumah tersebut?Pertanyaan ini diajukan untuk mengetahui masalah atau kejadian yang pernah terjadi di rumah itu sebelumnya. Misalnya pernah terjadi kematian di rumah tersebut atau mungkin rumah ini memiliki nilai-nilai tertentu sehingga layak mendapat apresiasi (misalnya rumah bekas duta besar, atau rumah masa kecil pahlawan negara, dan lain-lain).

Bagaimana fasilitas infrastruktur di lokasi tersebut?Informasi ketersediaan fasilitas sekolah, pasar, supermarket, dan lebar jalan yang memadai di lingkungan yang baik akan menjadi poin tambahan. Selain itu Anda juga bisa melakukan survei sendiri. Semakin baik dan lengkap fasilitas yang ada, semakin bernilai pula rumah yang diincar. Anda pun bisa langsung memperkirakan besaran dana yang bakal keluar untuk membeli rumah di kawasan tersebut.

Bagaimana status rumah tersebut?Status rumah jangan pernah lupa ditanyakan kepada penjual. Hindari jatuh cinta pada rumah yang bermasalah dalam hal kepemilikan alias dalam sengketa. Selain rumit urusan jual belinya, membeli rumah seperti ini mengandung risiko tinggi. Ada baiknya mencari tahu dengan benar dan lakukan cross check sebelum membayar. Lebih baik menunggu informasi sejelas-jelasnya dan lengkap sebelum pembuatan perjanjian, daripada menyesal di kemudian hari.

Anto Erawanantoerawan@rumah.com

sumber: Rumah.com